BLANTERORIONv101

Tahap-tahap Pendidikan karakter bagi anak

19 April 2019

Tahap-tahap Pendidikan karakter bagi anak

Pendidikan karakter membutuhkan tahapan/proses secara sistematis dan gradual, sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Pembangunan karakter tidaklah hanya dengan penetapan misi akan tetapi harus dilanjutkan dengan proses secara terus menerus sepanjang hidup.
Dalam pandangan Islam tahapan-tahapan pengembangan dan pembentukan dilakukan sedini mungkin dimulai sejak kelahiran sampai meninggal. Dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan anak harus disesuaikan dengan dunia anak. Berikut tahap-tahap perkembngan anak:
a.  Tauhid (Usia 0-2 tahun)
Kewajiban seorang orang tua ketika anak baru lahir yaitu menyuarakan  adzan pada telinga sebelah kanan dan menyuarakan iqomat pada telinga sebelah kiri, hal ini bertujuan agar anak mengenal suara yang pertama kali didengar berupa pengetahuan tentang keesaan Allah. Dalam hadis disebutkan:
Jadikanlah kata-kata pertama yang diucapkan seorang anak, kalimat La Ilaha illallah. Dan bacakan kepadanya menjelang maut, kalimat La Ilaha illallah." (H.R. Ibnu Abbas).
Diriwayatkan dari Abdur Razzak bahwa Nabi Saw. Menyukai untuk mengajarkan kalimat La Ilaha Illallah kepada setiap anak yang baru bisa mengucapkan kata-kata sebanyak tujuh kali, sehingga kalimat tauhid ini menjadi ucapan mereka yang pertama kali dikenalnya.
Menurut Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya Ahkam al Maulad, apabila anak telah mampu mengucapkan kata-kata, maka diktekan pada mereka kalimat "La Ilaha Illallah’, Muhammad Rasulullah". Dan jadikan suara pertama kali didengar oleh anak berupa pengetahuan tentang keesaan Allah.
b.  Adab (5-6 tahun)
Pada fase ini, hingga berusia 5-6 tahun anak dididik budi pekerti, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter sebagai berikut:
1. Jujur, tidak berbohong;
2. Mengenal mana yang benar dan mana yang salah;
3. Mengenal mana yang baik dan mana yang buruk;
4. Mengenal mana yang diperintah (yang dibolehkan) dan mana yang dilarang (yang tidak boleh dilakukan).[2]
Pendidikan kejujuran merupakan nilai karakter yang harus ditanamkan pada anak sedini mungkin karena nilai kejujuran merupakan nilai kunci dalam kehidupan. Pendidikan kejujuran harus diintegrasikan ke dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun sekolah. Jika pendidikan kejujuran ini dapat dilakukan secara efektif berarti kita telah membangun landasan yang kukuh berdirinya suatu bangsa. Bangsa kita dewasa ini sedang mengalami krisis kejujuran sehingga berdampak pada melandanya perilaku korupsi di mana-mana bahkan telah dinyatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya.
Pada fase ini anak juga harus dididik mengenai karakter benar dan salah, karakter baik dan buruk. Lebih meningkat lagi anak dididik atau dikenalkan apa-apa yang boleh dilakukan dan apa-apa yang tidak boleh dilakukan. Targetnya adalah anak telah memiliki kemampuan mengenal mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Sebagai contoh ada seorang anak bertanya kepada ibunya: "Bu saya boleh melakukan ini tidak? "Saya boleh mengambil ini tidak?", dan lain-lain
c.  Tanggung Jawab Diri (7-8 tahun)
Perintah agar anak usia 7 tahun mulai menjalankan shalat menunjukkan bahwa anak mulai dididik untuk bertanggung jawab, terutama dididik bertanggung jawab pada diri sendiri. Anak mulai diminta untuk membina dirinya sendiri, anak mulai dididik untuk memenuhi kebutuhan dan kewajiban dirinya sendiri
Pada usia ini anak juga mulai dididik untuk tertib dan disiplin karena pelaksanaan shalat menuntut anak untuk tertib, taat, kontinu, dan disiplin. Mendidik shalat juga berarti membina masa depannya sendiri. Sebagai konsekuensinya berarti anak dididik untuk menentukan pilihan masa depan, menentukan cita-cita, dan sekaligus ditanamkan sistem keyakinan. Artinya, cita-cita itu akan tercapai jika dilandasi dengan keyakinan yang kuat. Keyakinan ini akan terwujud jika dilandasi upaya yang sungguh-sungguh yang dilakukan secara terus- menerus, tertib, dan disiplin.
d.   Caring atau Peduli (9-10 tahun)
Setelah anak dididik tentang tanggung jawab diri, maka selanjutnya anak dididik untuk mulai peduli pada orang lain, terutama teman-teman sebaya yang setiap hari ia bergaul. Menghargai orang lain (hormat kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih muda), menghormati hak-hak orang lain, bekerja sama di antara teman-temannya, membantu dan menolong orang lain, dan lain-lain merupakan aktivitas yang sangat penting pada masa ini.
Di sisi lain, sebagai dampak dari kegiatan bekerja sama dan kebersamaan ini juga berdampak pada sebuah pendidikan akan pentingnya bertanggung jawab kepada orang lain. Oleh karena itu, nilai-nilai kepemimpinan mulai tumbuh pada usia ini. Sebagai indikatornya adalah sewaktu Nabi mulai dipercaya menggembala kambing orang Makkah. Sebagaimana tertulis dalam sebuah riwayat yang menyatakan: "Ketika Nabi berusia kurang lebih empat tahun, pada saat Ia berada di bawah asuhan Halimah di kampungnya, Nabi mulai ikut menggembala kambing milik ibu asuhnya itu. Pada saat itu, Nabi ditemani oleh anak Halimah yang bernama Abdullah. Selanjutnya dikisahkan juga: "Setelah ditinggal meninggal ibunya, Nabi pernah bekerja menggembalakan kambing milik orang Makkah, sebagaimana tertuang dalam sebuah hadis yang berbunyi: Allah tidak mengutus Nabi, melainkan ia pernah menggembala kambing. Para sahabat bertanya. Dan engkau Rasulullah? Beliau bersabda: Dan aku sudah pernah juga mengembalakan kambing kepunyaan orang Makkah dengan menerima upah yang tidak seberapa banyak.




Ditinjau dari segi usia pekerjaan menggembala itu diakukan sebelum Nabi berusia 12 tahun kira-kira berusia sekitar 9-11 tahun. Hal ini dikuatkan oleh sebuah pernyataan: "Selanjutnya setelah Nabi berusia 12 tahun, Nabi ikut pamannya Abu Thalib untuk berdagang ke negeri Syam.[3]
e.    Kemandirian (11-12 tahun)
Berbagai pengalaman yang telah dilalui pada usia-usia sebelumnya makin mematangkan karakter anak sehingga akan membawa anak pada kemandirian. Kemandirian ini ditandai dengan kesiapan dalam menerima risiko sebagai konsekuensi tidak menaati aturan. Proses pendidikan ini ditandai dengan, jika usia 10 tahun belum mau shalat maka pukullah dan pisahkan tempat tidurnya dari orang tuanya.
Kemandirian ini juga berarti bahwa anak telah mampu bukan hanya mengenal mana yang benar dan mana yang salah akan tetapi,  mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sebagai contoh, ada anak yang sedang bermain bersama teman-temannya, tiba-tiba ada salah seorang anak berkata jorok dan berbicara kotor, kemudian secara spontan ada anak yang mengingatkan dan berkata. Hai, jangan berkata kotor seperti itu, itu perbuatan dosa. Kalimat itu menunjukkan bahwa anak tersebut telah memiliki kemampuan membedakan mana yang benar dan mana yang salah
Pada fase kemandirian ini anak telah mampu menerapkan terhadap hal-hal yang menjadi perintah atau yang diperintahkan dan hal-hal yang menjadi larangan atau yang dilarang, serta sekaligus memahami konsekuensi risiko jika melanggar aturan. [4]
f.     Bermasyarakat (13 tahun ke atas)
Pada tahap ini, anak dipandang telah siap memasuki kondisi kehidupan di masyarakat. Dalam hal ini, anak telah siap bergaul di masyarakat dengan berbekal pengalaman-pengalaman yang dilalui sebelumnya. Setidaknya ada dua nilai penting yang dimiliki oleh anak walaupun masih bersifat awal atau belum sempurna, yaitu: (1) integritas dan (2) kemampuan beradaptasi.
Bukti sejarah telah menunjukkan ketika Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anaknya Ismail, dan pada saat itu Ismail berusia 13 tahun. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abas ra. Bahwa ia (Ismail) telah mencapai usia 13 tahun .[5]
Jika tahap-tahap pendidikan karakter ini bisa dilakukan dengan baik, maka pada tingkat usia berikutnya tinggal menyempurnakan dan mengembangkan.



[1] Abdul Majid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, 23
[2] Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa, (Surakarta: Yuma Pressindo, 2010), 32
[3] Abdul Majid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, 25-26
[4] Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa, 35
[5] Ibid 36

Komentar