BLANTERORIONv101

Pembahasan Hukum Wadh'i

13 November 2014
PEMBAHASAN HUKUM WADH'I
A. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i merupakan perintah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum wad’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.[1]
1. Sebab (As-Sabab)
Sebab (As-Sabab) menurut jumhur ulama adalah sesuatu yang lahir dan jelas batas-batasannya, yang oleh Allah (al-syari’, pembuat hukum) di jadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum. Berdasarkan definisi ini, ada dua esensi yang terkandung di dalamnya Pertama; bahwa suatu tidak sah di jadikan sebagai sebab kecuali Allah (syari’) sendiri yang menjadikannya sebagai sebab. Karena hukum-hukum taklifi merupakan pembebanan dari Allah SWT,maka yang membebani adalah Allah SWT,maka Dialah menjadikan sebab-sebab sebagai dasar-dasar hukumnya.Kedua: bahwa sebab-sebab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum taklifi,akan tetapi merupakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu. Dalam hal ini asy-Syathiby mengatakan,bahwa “sebab” bukanlah pelaku aktif dengan sendirinya, ia hanyalah menyertai terjadinya akibat (musabbab atau hukum),bukan yang menyebabkannya.[2]
Sebab dibagi menjadi 2,yaitu: sebab yang bukan berasal dari perbuatan mukallaf (manusia) adalah sebab-sebab yang dijadikan oleh Allah sebagai tanda atas wujudnya hukum. Seperti adanya waktu merupakan sebab bagi wajibnya shalat; keadaan terpaksa merupakan sebab di perbolehkannya makan bangkai; dan adanya kekhawatiran terjerumus dalam perzinaan bagi orang yang telah mampu berkeluarga merupakan sebab bagi wajibnya nikah,dan seterusnya.Adapun sebab-sebab yang ada dalam jangkauan kemampuan manusia (mukallaf) adalah perbuatan-perbuatan manusia mukallaf yang oleh Allah dijadikan sebagai akibat timbulnya hukum. Seperti bepergian jauh bagi orang yang sedang berpuasa merupakan sebab diperbolehkan berbuka (ifthar), akad nikah yang sah merupakan sebab dihalalkannya berkumpul,akad jual beli merupakan sebab bagi timbulnya akibat-akibat hukum,dan seterusnya.[3]
2. Syarat (Asy-syarth)
Asy-syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak ada syarat berarti pasti tidak adanya hukum,tetapi wujudnya syarattidak pasti wujudnya hukum. Adapun perbedaan antara syarat dengan sebab adalah bahwa ditemukan (adanya) syarat itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu yang merupakan syaratnya shalat tidak menentukan/tidak mengakibatkan wajibnya shalat. Dan adanya dua orang saksi tidak menentukan/tidak mengakibatkan adanya akad nikah. Akan tetapi shalat menjadi tidak sah tanpa adanya dua orang saksi.
Secara umum syarat merupakan penyempurna musabbab (efek). Atas dasar ini, Ulama Ushul mengatakan  bahwa syarat ada dua macam yaitu : pertama syarat yang menyempurnakan sebab, dan kedua : syarat yang menyempurnakan musabbab (efek),maksudnya hakikat musabbab dan rukunnya. Syarat yang menyempurnakan sebab adalah syarat yang hikmahnya menguatkan ma’na sababy, seperti syarat berputarnya masa setahun menyangkut nishab yang mewajibkan zakat. Dalam hal ini sebab yang mewajibkan zakat adalah nishab (kadar yang harus dicapai untuk wajib zakat), karena nishab menunjukkan kekayaan. Dan kekayaan itu tidak akan terpenuhi sebagai ishab yang lebih sempurna.,kecuali telah melewati masa setahun berada dalam kekuasaan pemiliknya. Adapun syarat yang menyempurnakan musabbab(efek) adalah syarat yang menguatkan hakikat musabbab,yakni menguatkan rukun musabbab. Misalnya; adanya syarat persamaan hukum qishas antara orang yang melakukan kejahatan dengan orang yang menjadi korban kejahatan,dari segi keutuhan dan kecacatan beberapa anggota tubuh dan semisalnya.[4]
Para ahli ushul membagi syarat-syarat yang berhubungan dengan hukum wadh’i menjadi dua macam,yaitu:
1.      Syarat syar’iyyah, yaitu : syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’. Syarat ini terbagi lagi menjadi dua macam yaitu:
a.       Syarat yang terdapat dalam khitab taklif.  Dan bentuknya banyak, diantaranya:
-berbentuk tuntutan untuk melakukannya, seperi wudhu dan sholat.
2.      Syarat ja’liyyah, yaitu syarat-syarat yang tidak ditentukan oleh syara’. Syarat ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
a.       Syarat yang ditetapkan sebgai penyempurna dari hikmah perbuatan hokum dan tidak bertentangan dengan hikmah.
-perjanjian jual beli dengan syarat barang diantar ke rumah pembeli.
b.      Syarat yang tidak sesuai dengan maksud perbuatan hokum, bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hokum  hal ini tidak berlaku.
-perjanjian pernikahan, dengan syarat
.suami tidak berkewajiban memberi nafkah atau suami tidak boleh mencampuri istrinya.
c.       Syarat tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum.[5]

3. Penghalang (Al-Mani’)
Mani’ adalah :
اَلْمَانِعُ هُوَ مَا يَالْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ عَدَمُ اْلحُكْمِ اَوْبُطْلَانُ السَّبَبِ وَقَدْ تَحَقَّقَ الشَّرْعِيُّ وَتَتَوَافَرُ جَمِيْعُ شُرُوْطِهِ وَلَكِنْ بِوُجُوْدِهِ مَانِعٌ يَمْنَعُ تَرَتُّبَ الْحُكْمِ عَلَيْهِ
Mani’ adalah segala sesuatu yang memastikan tidak ada hukum atau batal sebab hukum, sekalipun menurut syara’ syarat dan rukunnya sudah terpenuhi, lantaran adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya hukum terhalang.[6]
الْمَانِعِيْةُ هِيَ جَعْلُ الشَّيْئِ وَاعْتِبَارُهُ مَانِعٌا
Mani’ adalah sesuatu yang dijadikan oleh syara’ dan dianggapnya sesuatu tersebut sebagai peghalang atas sesuatu yang lain

Maksudnya sesuatu hal yang menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum. Maka dari itu,jika hukum itu tidak ada sebab perbuatan hukum juga menjadi batal,sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Contoh: ayah membunuh anaknya.Ayah sebagai mani’,akibatnya hukum qishas tidak akan dilaksanakan,sekalipun sebabnya ada,yaitu pembunuhan.
·                     Macam-macam Mani’
a.       Mani’ menghalangi sahnya sebab lahirnya hukum
Contoh: jual beli orang merdeka,status merdeka, status merdeka sebagai mani’, yaitu orang merdeka tidak termasuk barang yang diperbolehkan dijual-belikan,akibatnya transaksi batal,sekalipun sebabnya ada,yaitu pembelian.
b.      Mani’ menghalangi kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak ikut serta bertransaksi.
Contoh: Jual beli yang bukan miliknya. Barang sebagai Mani’(barang milik orang lain), akibatnya transaksi tetap sah,selama pemiliknya menyetujui.[7]
4. ‘Azimah
‘Azimah dalam bahasa artinya “niat yang kuat”,sebagaimana kebiasaan orang berkata:
Saya berniat untuk berbuat begini,yaitu saya meniatkannya dengan niat yang kuat.
Sedang menurut istilah,hukum ‘azimah adalah:
الْعَزِيمَةُ هِيَ مَا شَرَعَهُ الله اَصَالَةً مِنَ اْلَاحْكَامِ الْعَّامَةِ اَّلتِى لاَتَخْتَصُّ بِحَالٍ دُوْنَ حَالٍ وَلاَ بِمُكَلَّفٍ دُوْنَ مُكَلَّفٍ
Hukum ‘Azimah adalah hukum yangdisyari’atkan Allah semenjak awal yang bersifat umum yang tidak tertentu pada suatu keadaan atau kasus tertentu dan tidak pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.
Jadi ‘Azimah adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara’ kepada seluruh hamba-Nya sejak semula.artinya belum ada hukum sebelum hukum itu di syari’atkan Allah, sehingga sejak di syari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya.
Contoh: Jumlah Rakaat sholat isya’ ada 4 rakaat.
Ketetapan ini ditetapkan oleh Allah sejak semula,sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat tersebut. Hukum tentang rakaat shalat isya’ 4 rakaat,disebut hukum ‘azimah.[8]akan tetapi jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa rakaat sholat isya’ dua rakaat bagi orang-orang tertentu,seperti musafir,maka di sebut hukum rukshah.
5. Rukhshah
1, pengertian Rukhshah
Rukhshah menurut bahasa berarti, kemudahan atau kelonggaran atau perkara yang tidak sulit, sedang menurut istilah rukshoh adalah hukum yang telah disyari'atkan Allah untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan adanya kemudahan atau keringanan.[9]
2. Klasifikasi rukhshah
Rukhsah di bagi menjadi 4 macam, yaitu:
a. Rukhsah istisna', yaitu rukhsah yang menjadi pengecualian ketetapan hukum umum, lantaran ada kesulitan untuk melaksanakan ketentuan hukum umum tersebut.
a.     Rukshah taklifiy, yaitu rukshah yang disebabkan adanya taklif yang berat dari syara'.
b.     Rukshah muwassa', yaitu keringanan yang ditetapkan lantaran memberikan keluasan dalam beribadah, sehingga terdapat kemudahan untuk melaksanakannya lebih banyak.
c.    Rukshah li 'udzrin, yaitu keringanan yang diberikan oleh para ahli hukum lantaran adnya udzur atau alasan yang dapat dijadikan sebagai pengecualian, hanya saja ketentuannya hanya berlaku menurut keperluan[10]
6. Sah
sah adalah sesuatu yang dipandang sah menurut syara' jika sesuatu tersebut dikerjakan sesuai dengan yang diperintahkan..
Dari definisi di atas, dapat dimengerti bahwa jika perbuatan yang dituntu syara' itu sudah dinyatakan sah, berarti yang melaksankannya dianggap sudah menunaikan tuntutan tersebut dan terlepas dari tanggung jawabnya serta tidak ditumtut hukuman, baik dunia maupun akhirat, bahkan mendapat pahala di akhirat.
         Setiap perbuatan yang dibebankan syara' kepada mukallaf, pasti sudah ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan tersebut harus dikerjakan sesuai dengan yang diperintahkan, sehingga yang masih kurang syarat dan rukunnya atau bahkan bertentangan dengan ketentuan syara', dianggap sebagai perbuatan tidak sah atau batal.
       Dengan demikian, perbuatan dikatakan sah jika perbuatan yang dilakukan itu sudah sesuai dengan ketentuan syara', yaitu telah terpenuhinya sebab, syarat dan tidak adanya penghalang (mani'). Dalam hal ini berarti sah itu dapat dikatakan sebagai terlepasnya tanggung jawab dan gugurnya kewajiban.
Contoh:
-mengerjakan sholat magrib (sebagai kewajiban) setelah terbenam mtahari (sebagai sebab) dan sudah berwudlu (sebagai syarat) serta tidak ada penghalang bagi pelakunya, maka hukum perbuatan yang sudah dikerjakan itu adalah sah.[11]
7. Fasid
fasid adalah sesuatu yang rusak atau batal, artinya syara, syara' menganggap sesuatu perbuatan itu rusak atau batal jika dikerjakan tidak sesuai dengan apa yang disyari'atkan.
     Dari definisi di atas dapat diambil pemahaman bahwa batal adalah terlepasnya hukumsyara' dari ketentuan yang telah ditetepkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Karena itulah semua perbuatan yang telah dibebankan Allah kepada mukallaf, pasti sudah ditetapkan pula syarat dan rukunnya. Dan harus dikerjakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkannya-Nya.
Contoh:
·         shalat dianggap batal atau tidak sah jika dilakukan tanpa dilengkapi syarat dan rukun yang menjadi sahnya shalat.
Disamping masalah batal, kelompok hanafiyah juga mengemukakan hukum lain yang artinya berdekatan dengan hukum batal, yaitu fasid. Menurut mereka fasid adalah terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur transaksi (akad). Tetapi menurut mayoritas ahli ushul dan mutakalimin berpendapat bahwa antara batal dan fasid adalah dua istilah hukum dengan pengertian yang sama, yaitu sama-sama tidak sah. Sekalipun demikian, diantara keduanya tetap ada perbedaannya, yaitu:
1. Batil, merupakan suatu hal yang menurut asal, bentuk dan sifatnya tidak disyari'atkan dalam agama, baik dalam bidang peribadan maupun muamalah.
Contoh:
-shalat dan puasa bagi wanita haidl. Menurut asanya keduanya tidak diwajibkan dan berdosa jika keduanya tetap melakukannya.
2. Fasid, suatu hal yang menurut asalnya disyari'atkan, tetapi pada bentuk dan sifatnya tidak disyari'atkan, baik berhubungan dengan peribadatan maupun lainnya.
Contoh :berpuasa pada hari-hari yang terlarang, asalnya puasa itu dianjurkan. Lantaran dihari-hari tersebut puasa dilarang, karena sifatnya dan bentuknya membuat yang berpuasa jauh dari rahmat Allah.[12]
B. Perbedaan antara hukum takhlify dan hukum wadh’y
Takhlify artinya memberatkan,membebankan.yang di maksud dengan hukum takhlify adalah tuntutan Allah pada manusia yang baligh dan berakal untuk berbuat atau untuk tidak berbuat atau memilih sesuatu diantara keduanya.sedangkan wadh’y adalah buatan atau bikinan.yang dimaksud dengan hukum wadh’y adalah adanya sesuatu hukum bergantung pada ada tidaknya sesuatu yang lain seperti: sebab,syarat,dan mani’.
Dari uraian tersebut,jelaslah perbedaan antara hukum takhlify dan hukum wadh’y. hukum takhlify mengandung tuntutan,sedang hukum wadh’y tidak mengandung tuntutan,tetapi hanya mengandung sebab,syarat,dan mani’(halangan hukum)[13]
KESIMPULAN
Hukum wadh’i merupakan perintah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum wad’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain.Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.
Para ahli ushul membagi ukum wadh’i menjadi 7 yaitu sababiyyah, syarthiyyah, mani’iyyah, ‘azimah, Rukhshah, shahih, dan fasid.
perbedaan antara hukum takhlify dan hukum wadh’y. hukum takhlify mengandung tuntutan,sedang hukum wadh’y tidak mengandung tuntutan,tetapi hanya mengandung sebab,syarat,dan mani’(halangan hukum).

DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra, Muhammad, Ushul fiqih, PT. PUSTAKA FIRDAUS, Jakarta,2010.
Djali, Basiq, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Kencana,Jakarta: 2010.
Ma’shum Zainy al-Hasyimiy,Muhammad Ilmu Ushul-Fiqh, Darul Hikmah Jombang, Jombang, 2008)
http://fridzqi.blogspot.com/2011/10/hukum-taklifi-dan-hukum-wadhi-ushul.html



[1]http://fridzqi.blogspot.com/2011/10/hukum-taklifi-dan-hukum-wadhi-ushul.html
[2]Muhammad Abu Zahra, Ushul fiqih, (Jakarta, PT. PUSTAKA FIRDAUS,2010), 70
[3] Ibid.,71
[4] Ibid.,75-76
[5] Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy,Ilmu Ushul-Fiqh,(Jombang,Darul Hikmah Jombang,2008),190-191
[6] Ibid.,191
[7] Ibid.,192
[8] Ibid.,193
[9] Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy,Ilmu Ushul-Fiqh,(Jombang,Darul Hikmah Jombang,2008),190-191
[10] Ibid,.95
[11] Ibid.,198
[12] Ibid,.199-200
[13] Basiq Djali,Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua,(Jakarta: Kencana,2010),42

Komentar