PEMBAHASAN HUKUM WADH'I
A. Hukum Wadh’i
Hukum
wadh’i merupakan perintah Allah yang berbentuk ketentuan yang
ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi
berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum wad’i
adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu
yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga
diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.[1]
1. Sebab (As-Sabab)
Sebab
(As-Sabab) menurut jumhur ulama adalah sesuatu yang lahir dan jelas
batas-batasannya, yang oleh Allah (al-syari’, pembuat hukum) di jadikan
sebagai tanda bagi wujudnya hukum. Berdasarkan definisi ini, ada dua
esensi yang terkandung di dalamnya Pertama; bahwa suatu tidak sah di
jadikan sebagai sebab kecuali Allah (syari’) sendiri yang menjadikannya
sebagai sebab. Karena hukum-hukum taklifi merupakan pembebanan dari Allah SWT,maka yang membebani adalah Allah SWT,maka Dialah menjadikan sebab-sebab sebagai dasar-dasar hukumnya.Kedua:
bahwa sebab-sebab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya
hukum-hukum taklifi,akan tetapi merupakan tanda bagi lahirnya
hukum-hukum itu. Dalam hal ini asy-Syathiby mengatakan,bahwa “sebab”
bukanlah pelaku aktif dengan sendirinya, ia hanyalah menyertai
terjadinya akibat (musabbab atau hukum),bukan yang menyebabkannya.[2]
Sebab
dibagi menjadi 2,yaitu: sebab yang bukan berasal dari perbuatan
mukallaf (manusia) adalah sebab-sebab yang dijadikan oleh Allah sebagai
tanda atas wujudnya hukum. Seperti adanya waktu merupakan sebab bagi
wajibnya shalat; keadaan terpaksa merupakan sebab di perbolehkannya
makan bangkai; dan adanya kekhawatiran terjerumus dalam perzinaan bagi
orang yang telah mampu berkeluarga merupakan sebab bagi wajibnya
nikah,dan seterusnya.Adapun sebab-sebab yang ada dalam jangkauan
kemampuan manusia (mukallaf) adalah perbuatan-perbuatan manusia mukallaf
yang oleh Allah dijadikan sebagai akibat timbulnya hukum. Seperti
bepergian jauh bagi orang yang sedang berpuasa merupakan sebab
diperbolehkan berbuka (ifthar), akad nikah yang sah merupakan sebab
dihalalkannya berkumpul,akad jual beli merupakan sebab bagi timbulnya
akibat-akibat hukum,dan seterusnya.[3]
2. Syarat (Asy-syarth)
Asy-syarth
(syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum.
Tidak ada syarat berarti pasti tidak adanya hukum,tetapi wujudnya
syarattidak pasti wujudnya hukum. Adapun perbedaan antara syarat dengan
sebab adalah bahwa ditemukan (adanya) syarat itu tidak memastikan adanya
hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu yang merupakan syaratnya shalat
tidak menentukan/tidak mengakibatkan wajibnya shalat. Dan adanya dua
orang saksi tidak menentukan/tidak mengakibatkan adanya akad nikah. Akan
tetapi shalat menjadi tidak sah tanpa adanya dua orang saksi.
Secara
umum syarat merupakan penyempurna musabbab (efek). Atas dasar ini,
Ulama Ushul mengatakan bahwa syarat ada dua macam yaitu : pertama
syarat yang menyempurnakan sebab, dan kedua : syarat yang menyempurnakan
musabbab (efek),maksudnya hakikat musabbab dan rukunnya. Syarat yang
menyempurnakan sebab adalah syarat yang hikmahnya menguatkan ma’na
sababy, seperti syarat berputarnya masa setahun menyangkut nishab yang
mewajibkan zakat. Dalam hal ini sebab yang mewajibkan zakat adalah
nishab (kadar yang harus dicapai untuk wajib zakat), karena nishab
menunjukkan kekayaan. Dan kekayaan itu tidak akan terpenuhi sebagai
ishab yang lebih sempurna.,kecuali telah melewati masa setahun berada
dalam kekuasaan pemiliknya. Adapun syarat yang menyempurnakan
musabbab(efek) adalah syarat yang menguatkan hakikat musabbab,yakni
menguatkan rukun musabbab. Misalnya; adanya syarat persamaan hukum
qishas antara orang yang melakukan kejahatan dengan orang yang menjadi
korban kejahatan,dari segi keutuhan dan kecacatan beberapa anggota tubuh
dan semisalnya.[4]
Para ahli ushul membagi syarat-syarat yang berhubungan dengan hukum wadh’i menjadi dua macam,yaitu:
1. Syarat syar’iyyah, yaitu : syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’. Syarat ini terbagi lagi menjadi dua macam yaitu:
a. Syarat yang terdapat dalam khitab taklif. Dan bentuknya banyak, diantaranya:
-berbentuk tuntutan untuk melakukannya, seperi wudhu dan sholat.
2. Syarat ja’liyyah, yaitu syarat-syarat yang tidak ditentukan oleh syara’. Syarat ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Syarat yang ditetapkan sebgai penyempurna dari hikmah perbuatan hokum dan tidak bertentangan dengan hikmah.
-perjanjian jual beli dengan syarat barang diantar ke rumah pembeli.
b. Syarat
yang tidak sesuai dengan maksud perbuatan hokum, bahkan bertentangan
dengan hikmah perbuatan hokum hal ini tidak berlaku.
-perjanjian pernikahan, dengan syarat
.suami tidak berkewajiban memberi nafkah atau suami tidak boleh mencampuri istrinya.
c. Syarat tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum.[5]
3. Penghalang (Al-Mani’)
Mani’ adalah :
اَلْمَانِعُ
هُوَ مَا يَالْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ عَدَمُ اْلحُكْمِ اَوْبُطْلَانُ
السَّبَبِ وَقَدْ تَحَقَّقَ الشَّرْعِيُّ وَتَتَوَافَرُ جَمِيْعُ
شُرُوْطِهِ وَلَكِنْ بِوُجُوْدِهِ مَانِعٌ يَمْنَعُ تَرَتُّبَ الْحُكْمِ
عَلَيْهِ
Mani’
adalah segala sesuatu yang memastikan tidak ada hukum atau batal sebab
hukum, sekalipun menurut syara’ syarat dan rukunnya sudah terpenuhi,
lantaran adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya hukum
terhalang.[6]
الْمَانِعِيْةُ هِيَ جَعْلُ الشَّيْئِ وَاعْتِبَارُهُ مَانِعٌا
Mani’ adalah sesuatu yang dijadikan oleh syara’ dan dianggapnya sesuatu tersebut sebagai peghalang atas sesuatu yang lain
Maksudnya
sesuatu hal yang menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab
bagi hukum. Maka dari itu,jika hukum itu tidak ada sebab perbuatan
hukum juga menjadi batal,sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Contoh:
ayah membunuh anaknya.Ayah sebagai mani’,akibatnya hukum qishas tidak
akan dilaksanakan,sekalipun sebabnya ada,yaitu pembunuhan.
· Macam-macam Mani’
a. Mani’ menghalangi sahnya sebab lahirnya hukum
Contoh:
jual beli orang merdeka,status merdeka, status merdeka sebagai mani’,
yaitu orang merdeka tidak termasuk barang yang diperbolehkan
dijual-belikan,akibatnya transaksi batal,sekalipun sebabnya ada,yaitu
pembelian.
b. Mani’ menghalangi kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak ikut serta bertransaksi.
Contoh:
Jual beli yang bukan miliknya. Barang sebagai Mani’(barang milik orang
lain), akibatnya transaksi tetap sah,selama pemiliknya menyetujui.[7]
4. ‘Azimah
‘Azimah dalam bahasa artinya “niat yang kuat”,sebagaimana kebiasaan orang berkata:
Saya berniat untuk berbuat begini,yaitu saya meniatkannya dengan niat yang kuat.
Sedang menurut istilah,hukum ‘azimah adalah:
الْعَزِيمَةُ
هِيَ مَا شَرَعَهُ الله اَصَالَةً مِنَ اْلَاحْكَامِ الْعَّامَةِ اَّلتِى
لاَتَخْتَصُّ بِحَالٍ دُوْنَ حَالٍ وَلاَ بِمُكَلَّفٍ دُوْنَ مُكَلَّفٍ
Hukum
‘Azimah adalah hukum yangdisyari’atkan Allah semenjak awal yang
bersifat umum yang tidak tertentu pada suatu keadaan atau kasus tertentu
dan tidak pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.
Jadi
‘Azimah adalah hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara’ kepada seluruh
hamba-Nya sejak semula.artinya belum ada hukum sebelum hukum itu di
syari’atkan Allah, sehingga sejak di syari’atkannya seluruh mukallaf
wajib mengikutinya.
Contoh: Jumlah Rakaat sholat isya’ ada 4 rakaat.
Ketetapan
ini ditetapkan oleh Allah sejak semula,sebelumnya tidak ada hukum lain
yang menetapkan jumlah rakaat tersebut. Hukum tentang rakaat shalat
isya’ 4 rakaat,disebut hukum ‘azimah.[8]akan
tetapi jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa rakaat sholat isya’
dua rakaat bagi orang-orang tertentu,seperti musafir,maka di sebut hukum
rukshah.
5. Rukhshah
1, pengertian Rukhshah
Rukhshah
menurut bahasa berarti, kemudahan atau kelonggaran atau perkara yang
tidak sulit, sedang menurut istilah rukshoh adalah hukum yang telah
disyari'atkan Allah untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada
keadaan tertentu yang menyebabkan adanya kemudahan atau keringanan.[9]
2. Klasifikasi rukhshah
Rukhsah di bagi menjadi 4 macam, yaitu:
a.
Rukhsah istisna', yaitu rukhsah yang menjadi pengecualian ketetapan
hukum umum, lantaran ada kesulitan untuk melaksanakan ketentuan hukum
umum tersebut.
a. Rukshah taklifiy, yaitu rukshah yang disebabkan adanya taklif yang berat dari syara'.
b. Rukshah
muwassa', yaitu keringanan yang ditetapkan lantaran memberikan keluasan
dalam beribadah, sehingga terdapat kemudahan untuk melaksanakannya
lebih banyak.
c. Rukshah
li 'udzrin, yaitu keringanan yang diberikan oleh para ahli hukum
lantaran adnya udzur atau alasan yang dapat dijadikan sebagai
pengecualian, hanya saja ketentuannya hanya berlaku menurut keperluan[10]
6. Sah
sah adalah sesuatu yang dipandang sah menurut syara' jika sesuatu tersebut dikerjakan sesuai dengan yang diperintahkan..
Dari
definisi di atas, dapat dimengerti bahwa jika perbuatan yang dituntu
syara' itu sudah dinyatakan sah, berarti yang melaksankannya dianggap
sudah menunaikan tuntutan tersebut dan terlepas dari tanggung jawabnya
serta tidak ditumtut hukuman, baik dunia maupun akhirat, bahkan mendapat
pahala di akhirat.
Setiap perbuatan yang dibebankan syara' kepada mukallaf, pasti sudah
ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan tersebut harus dikerjakan
sesuai dengan yang diperintahkan, sehingga yang masih kurang syarat dan
rukunnya atau bahkan bertentangan dengan ketentuan syara', dianggap
sebagai perbuatan tidak sah atau batal.
Dengan demikian, perbuatan dikatakan sah jika perbuatan yang dilakukan
itu sudah sesuai dengan ketentuan syara', yaitu telah terpenuhinya
sebab, syarat dan tidak adanya penghalang (mani'). Dalam hal ini berarti
sah itu dapat dikatakan sebagai terlepasnya tanggung jawab dan gugurnya
kewajiban.
Contoh:
-mengerjakan
sholat magrib (sebagai kewajiban) setelah terbenam mtahari (sebagai
sebab) dan sudah berwudlu (sebagai syarat) serta tidak ada penghalang
bagi pelakunya, maka hukum perbuatan yang sudah dikerjakan itu adalah
sah.[11]
7. Fasid
fasid
adalah sesuatu yang rusak atau batal, artinya syara, syara' menganggap
sesuatu perbuatan itu rusak atau batal jika dikerjakan tidak sesuai
dengan apa yang disyari'atkan.
Dari definisi di atas dapat diambil pemahaman bahwa batal adalah
terlepasnya hukumsyara' dari ketentuan yang telah ditetepkan dan tidak
ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Karena itulah semua perbuatan yang
telah dibebankan Allah kepada mukallaf, pasti sudah ditetapkan pula
syarat dan rukunnya. Dan harus dikerjakan sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkannya-Nya.
Contoh:
· shalat dianggap batal atau tidak sah jika dilakukan tanpa dilengkapi syarat dan rukun yang menjadi sahnya shalat.
Disamping
masalah batal, kelompok hanafiyah juga mengemukakan hukum lain yang
artinya berdekatan dengan hukum batal, yaitu fasid. Menurut mereka fasid
adalah terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur transaksi (akad).
Tetapi menurut mayoritas ahli ushul dan mutakalimin berpendapat bahwa
antara batal dan fasid adalah dua istilah hukum dengan pengertian yang
sama, yaitu sama-sama tidak sah. Sekalipun demikian, diantara keduanya
tetap ada perbedaannya, yaitu:
1.
Batil, merupakan suatu hal yang menurut asal, bentuk dan sifatnya tidak
disyari'atkan dalam agama, baik dalam bidang peribadan maupun muamalah.
Contoh:
-shalat dan puasa bagi wanita haidl. Menurut asanya keduanya tidak diwajibkan dan berdosa jika keduanya tetap melakukannya.
2.
Fasid, suatu hal yang menurut asalnya disyari'atkan, tetapi pada bentuk
dan sifatnya tidak disyari'atkan, baik berhubungan dengan peribadatan
maupun lainnya.
Contoh
:berpuasa pada hari-hari yang terlarang, asalnya puasa itu dianjurkan.
Lantaran dihari-hari tersebut puasa dilarang, karena sifatnya dan
bentuknya membuat yang berpuasa jauh dari rahmat Allah.[12]
B. Perbedaan antara hukum takhlify dan hukum wadh’y
Takhlify
artinya memberatkan,membebankan.yang di maksud dengan hukum takhlify
adalah tuntutan Allah pada manusia yang baligh dan berakal untuk berbuat
atau untuk tidak berbuat atau memilih sesuatu diantara
keduanya.sedangkan wadh’y adalah buatan atau bikinan.yang dimaksud
dengan hukum wadh’y adalah adanya sesuatu hukum bergantung pada ada
tidaknya sesuatu yang lain seperti: sebab,syarat,dan mani’.
Dari
uraian tersebut,jelaslah perbedaan antara hukum takhlify dan hukum
wadh’y. hukum takhlify mengandung tuntutan,sedang hukum wadh’y tidak
mengandung tuntutan,tetapi hanya mengandung sebab,syarat,dan
mani’(halangan hukum)[13]
KESIMPULAN
Hukum
wadh’i merupakan perintah Allah yang berbentuk ketentuan yang
ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi
berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum wad’i
adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu
yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain.Bisa juga diartikan
hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.
Para ahli ushul membagi ukum wadh’i menjadi 7 yaitu sababiyyah, syarthiyyah, mani’iyyah, ‘azimah, Rukhshah, shahih, dan fasid.
perbedaan
antara hukum takhlify dan hukum wadh’y. hukum takhlify mengandung
tuntutan,sedang hukum wadh’y tidak mengandung tuntutan,tetapi hanya
mengandung sebab,syarat,dan mani’(halangan hukum).
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra, Muhammad, Ushul fiqih, PT. PUSTAKA FIRDAUS, Jakarta,2010.
Djali, Basiq, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Kencana,Jakarta: 2010.
Ma’shum Zainy al-Hasyimiy,Muhammad Ilmu Ushul-Fiqh, Darul Hikmah Jombang, Jombang, 2008)
http://fridzqi.blogspot.com/2011/10/hukum-taklifi-dan-hukum-wadhi-ushul.html
[1]http://fridzqi.blogspot.com/2011/10/hukum-taklifi-dan-hukum-wadhi-ushul.html
[2]Muhammad Abu Zahra, Ushul fiqih, (Jakarta, PT. PUSTAKA FIRDAUS,2010), 70
[3] Ibid.,71
[4] Ibid.,75-76
[5] Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy,Ilmu Ushul-Fiqh,(Jombang,Darul Hikmah Jombang,2008),190-191
[6] Ibid.,191
[7] Ibid.,192
[8] Ibid.,193
[9] Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy,Ilmu Ushul-Fiqh,(Jombang,Darul Hikmah Jombang,2008),190-191
[10] Ibid,.95
[11] Ibid.,198
[12] Ibid,.199-200
[13] Basiq Djali,Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua,(Jakarta: Kencana,2010),42
Social Media