BLANTERORIONv101

Pengertian Sikap dan Tingkah laku Manusia dalam Beragama

1 Januari 2019

Pengertian Sikap dan Tingkah laku Manusia dalam Beragama

A.    Pengertian sikap
Arti sikap (attidtude) menurut para ahli psikologi diantaranya:
1. Charles Bird mengartikan sikap sebgai seatu yang berhubungan dengan penyesuaian diri seseorang kepada aspek-aspek lingkungan sekitar yang dipilih atau tindakannya sendiri. Bahkan lebih luas lagi, sikap dapat diartikan sebagai presdisposisi (kecenderungan jiwa) atau orientasi kepada suatu masalah, institusi dan orang-orang lain.
2.    F.H. Allport berpendapat bahwa sikap adalah suatu persiapan tindakan/berbuat dalam suatu arah tertentu. Dalam kata lain sikap merupakan suatu kecenderungan yang menentukan seseorang untuk bertingkah laku yang ditunjukkan ke arah suatu objek khusus dengan cara tertentu, baik objek itu berupa orang, kelembagaan ataupun masalah bahkan berupa dirinya sendiri. Sika ini dibedakan menjadi 2 macam sikap yakni sikap individual dan sikap sosial.
              Oleh karena itu sikap merupakan tendensi (kecenderungan) atau orientasi, maka ia dapat mengalami perubahan melalui pengalaman atau pendidikan.[1]

B.     Pengertian Tingkah Laku
              Dari sudut biologis tingkah laku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organism yang bersangkutan yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. tingkah laku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri.Secara oprasional tingkah laku dapat diartikan suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut.
              Secara umum prilaku manusia pada hakekatnya adalah proses interaksi individu dengan lingkungan sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah makhluk hidup.Menurut Drs. Sunaryo M.Kes tingkah laku adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.[2]
C.    Sikap dan tingkah laku manusi dalam beragama
Sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap objektertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu (Mar’at 1982: 19). Rumusan umum tentang  ada tekumpul menjadi 4 yaitu:
1.      sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan (di rumah, sekolah, dll) dan senantiasa berhubungan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide, sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.
2.      Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu, dengan memiliki kadar intensitas yang tidak tentu sama terhadap obyek tertentu, tergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi berbeda belum tentu cocok.
3.      sikap dapat bersifat relatif konsistent dalam sejarah hidup individu, karena ia merupakan bagian dari konteks persepsi atau pun kognisi individu.
4.      sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan, karenanya sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai.
Merujuk kepada rumusan di atas, terlihat bagaimana hubungan sikap dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen psikologis yaitu kognisi, afeksi, konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu objek, baik yang berbentuk konkret maupun objek yang abstrak. Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa, dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu objek.
 Bagaimana bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen kognisi, afeksi, dan konasi seseorang dengan masalah-msalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak ditentukan oleh hubungan sesaat, melainkan sebagai hubungan proses, sebab, pembentukan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman. Pembentukan sikap itu sendiri ternyata tidak hanya tergantung sepenuhnya kepada faktor eksternal, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang.
 Mata rantai hubungan antara sikap dan tingkah laku terjalin dengan hubungan faktor penentu, yaitu motif yang mendasari sikap. Motif sebagai tenaga pendorong arah sikap negatif atau positif akan terlihat dalam tingkah laku nyata pada diri seseorang atau kelompok. Dalam hubungan ini tergambar bahwa pembentukan sikap keagamaan dapat menghasilkan bentuk pola tingkah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.
 Para ahli didik melihat peran sentral orang tua sebagai pemberi dasar jiwa keagamaan kepada anaknya. Pandangan ini merujuk kepada adanya potensi bawaan manusia yaitu fitrah, yang diartikan sebagai potensi untuk bertauhid. Kajian psikologi transpersonal berpendapat bahwa jiwa keagamaan sebagai potensi dan daya psikis manusia, mereka mengakui adanya potensi-potensi luhur (thehighestpotensials) dan fenomena kesadaran (statesofconsciousness) manusia. Telaah psikologi agama tampaknya sudah mulai menyadari potensi-potensi dan daya psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan spiritual.
 Bila disimpulkan telaah dan pandangan yang ada bahwa jiwa keagamaan sebenarnya merupakan bagian dari komponen intern psikis manusia. Pembentukan kesadaran agama pada diri seseorang pada hakikatnya tak lebih dari usaha untuk menumbuh dan mengembangkan potensi dan daya psikis. Namun yang menjadi permasalahan krusial adalah bagaimana usaha yang dilakukan agar bimbingan yang diberikan sejalan dengan hakikat potensial yang luhur tersebut.
 Berdasarkan konsep yang telah dijelaskan, barangkali pemahaman sifat-sifat dasar yang merupakan ciri khas yang ada pada manusia dapat dikaitkan dengan konsep fitrah dalam pandangan Islam. Jika hal ini dapat diterima, maka pembentukan sikap dan tingkah laku keagamaan dapat dilakukan sejalan dengan fitrah tersebut bila situasi lingkungan dibentuk sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang prinsipil, yaitu ketauhidan.[3]



[1]H.M. Arifin, psikologi dakwah suatu pengantar studi, (PT Bumi Aksara: Jakarta, 2004), 104
[3] Jalaluddin, Psikologi Agama,  (Rajawali Press:Jakarta, 2012), 262-263

Komentar